Oleh: Romi
Kakawin Arjuna Wiwaha adalah salah satau hasil kesusastraan Jawa yang cukup terkenal. Kata Arjuna Wiwaha dapat diartikan perkawinan sang Arjuna. Dilihat dari namanya, kakawin ini memang mengisahkan tentang Arjuna. Sudah banyak yang mengkaji tentang kakawin ini, namun sepertinya kakawin ini tetap menarik untuk dikupas dan dibicarakan.
Kali ini saya akan mencoba mengupas bait pembuka (atau yang biasanya disebut sebagai manggala) dari dari Kakawin Arjuna Wiwaha. Kakawin ini diawali dengan bait yang berwirama Śārdūlawikrīḍita. Berikut ini adalah bait pembuka dari tembang tersebut.
ꦄꦩ꧀ꦧꦼꦏ꧀ꦰꦁꦥꦫꦩꦴꦂꦡꦥꦟ꧀ꦝꦶꦠꦲꦸꦮꦸꦱ꧀ꦭꦶꦩ꧀ꦥꦢ꧀ꦰꦏꦺꦁꦯꦹꦤꦾꦠꦴ꧈
ꦠꦤ꧀ꦰꦁꦏꦺꦔ꧀ꦮꦶꦰꦪꦥꦿꦪꦺꦴꦗꦤꦤꦶꦫꦭ꧀ꦮꦶꦂꦱꦁꦒꦿꦲꦺꦔ꧀ꦭꦺꦴꦏꦶꦏ꧈
ꦱꦶꦢ꧀ꦣꦴꦤꦶꦔꦾꦯꦮꦷꦂꦪꦢꦺꦴꦤꦶꦫꦱꦸꦑꦴꦤꦶꦔꦿꦴꦠ꧀ꦏꦶꦤꦶꦤ꧀ꦏꦶꦤ꧀ꦤꦶꦫ꧈
ꦱꦤ꧀ꦠꦺꦴꦰꦴꦲꦼꦊꦠꦤ꧀ꦏꦼꦭꦶꦂꦱꦶꦫꦱꦏꦺꦁꦱꦁꦲꦁꦗꦒꦠ꧀ꦏꦴꦫꦟ꧉
ambĕk sang paramārtha paṇḍita huwus limpad sakêng śūnyatā,
tan sangkêng wiṣaya prayojana nira lwir sanggrahêng lokika,
siddhā ning yaśa wīrya don ira sukhā ning rāt kininkin nira,
santoṣâhĕlĕtan kĕlir sira sakêng sang hyang jagatkāraṇa.
Kosakata:
ambĕk—batin, kehendak; sang paramārtha—tujuan tertinggi; paṇḍita—pendeta, orang bijak; huwus—telah; limpad—putus, menguasai; sakêng—dari; śūnyatā—kenyataan, hakikat; tan sangkêng—bukan karena; wiṣaya—dorongan nafsu, kenikmatan duniawi; prayojana nira—tujuan/alasannya; lwir—seolah-olah, keseluruhan; sanggrahêng—bertemu dengan, berkelindan dengan; lokika—keduniawian (tapi ada juga yang mengartikan kebiasaan); siddhā—sempurna; ning—pada; yaśa—ketenaran; wīrya—keberanian, keluhuran; don ira—tujuannya; sukhā ning rāt—kebahagiaan semesta; kininkin nira—yang diperhatikannya; santoṣa—kepuasan hati; ahĕlĕtan—tersekat, dipisahkan; kĕlir—layar, pembatas; sira—dia; sakêng—dari; sang hyang jagatkāraṇa—Sang Hyang Jagatkarana, Sang Maha Pencipta Dunia.
Terjemahan:
Batin Sang Pendeta yang berhasrat akan tujuan tertinggi telah mencapai (menguasai) hakikat yang nyata. Tujuannya bukan didasarkan pada dorongan nafsu duniawi sebagaimana dicontohkan oleh dia yang tidak bisa lepas dari materi. Adapun tujuannya untuk kesempurnaan atas ketenaran, keluhuran, dan kebahagiaan semesta yang selalu diperhatikannya. Namun kepuasan akan hal itu, terpisah oleh pembatas antara dia dengan Sang Maha Pencipta (Sang Hyang Jagatkāraṇa).
Oleh I Kuntara Wiryamartana (1990, 124), bait tembang di atas diterjemahkan sbeagai berikut.
‘Batin sang tahu Hakikat Tertinggi telah mengatasi segalanya karena menghayati Kesuwungan. Bukanlah terdorong nafsu indera tujuannya, seolah-olah saja menyambut yang duniawi. Sempurnanya jasa dan kebajikan tujuannya. Kebahagiaan alam semesta diprihatinkannya. Damai bahagia, selagi tersekat kelir dia dari Sang Penjadi Dunia.’
Sementara oleh Robson (2008, 39) diterjemahkan sebagai berikut.
‘The mind of the scholar who understands the highest truth has already penetrated the Void and passed beyond. His intentions do not flow from a desire for the objects of the senses, as if he were concerned with the things of this world. But his aim is to succeed in winning fame for deeds of valour, and it is the happiness of the world that he longs for content to remain veiled from the divine Cause of the World.’
Menurut tradisi karya sastra ini ditulis oleh Mpu Kanwa pada masa pemerintahan Raja Airlangga, yang memerintah di kerajaan Medang-Kahuripan, Jawa Timur dari tahun 1019 sampai dengan 1042 Masehi. Sedangkan kakawin ini diperkirakan selesai digubah sekitar tahun 1030 dan disebut menggambarkan kehidupan Raja Airlangga. Hal ini sebagaimana petikan teks pada Pupuh 36 Bait 2 dari Kakawin Arjunawiwahā berikut (Wirama Mrĕgāngsa).
ꦱꦩ꧀ꦥꦸꦤ꧀ꦏꦺꦏꦼꦠꦤꦶꦁꦏꦡꦴꦂꦗꦸꦤꦮꦶꦮꦴꦲꦥꦔꦫꦤꦤꦶꦏꦺ꧈
ꦱꦴꦏ꧀ꦱꦴꦠ꧀ꦠꦩ꧀ꦧꦪꦶꦫꦩ꧀ꦥꦸꦏꦤ꧀ꦮꦠꦸꦩꦠꦴꦩꦼꦠꦸꦩꦼꦠꦸꦏꦏꦮꦶꦤ꧀꧈
ꦨꦿꦴꦤ꧀ꦠꦴꦥꦤ꧀ꦠꦼꦲꦼꦫꦔ꧀ꦲꦉꦥ꧀ꦰꦩꦫꦏꦴꦂꦪꦩꦔꦶꦫꦶꦔꦶꦲꦗꦶ꧈
ꦯꦿꦷꦍꦭꦔ꧀ꦒꦤꦩꦺꦴꦱ꧀ꦠꦸꦱꦁꦥꦤꦶꦏꦼꦭꦤ꧀ꦠꦤꦃꦄꦔꦤꦸꦩꦠ꧈
sampun kekĕtan ing kathârjunawiwāha pangarana nike,
sākṣāt tambay ira mpu kanwa tumatâmĕtu-mĕtu kakawin,
bhrāntâpan tĕhĕr angharĕp samarakārya mangiringi haji,
śrī airlangghya namostu sang panikĕlan tanah anganumata.
‘Telah terangkai menjadi cerita, Arjunawiwahālah akan namanya. Tampak nyata pertama kalinya Mpu Kanwa menyusun, menghasilkan kakawin. Resah, sebab sedang menghadapi karya perang, mengiringkan Sang Raja. Sembah ke hadapan Śrī Airlangga. Dia yang dipuja sampai patah anak batu tulis, memberi restu.’ (Wiryamartana, 1990, 181)
Kakawin ini mengisahkan tentang pertapaan yang dilakukan oleh Arjuna di gunung Indrakila, dan akhirnya ia mendapat hadiah 7 orang bidadari karena berhasil mengalahkan raksasa Niwatakawaca, raja raksasa yang telah menggangu para dewa di kahyangan. Berdasarkan pokok ceritanya, kakawin Arjunawiwaha ini kemungkinan besar digubah berdasarkan isi dari cerita dari Wanaparwa, parwa ketiga dari Mahābhārata.
Dari manggala kakawin sebagaimana disebutkan di atas, ada kemungkinan Sang Pujangga mengungkapkan isi hatinya bahwa niatnya untuk mencapai tujuannya dalam meluhurkan dunia (kerajaan) terhalang oleh pembatas antara dia dengan Sang Hyang Jagatkāraṇa? Apakah ada kemungkinan bahwa Sang Hyang Jagatkāraṇa yang dimaksud adalah raja yang berkuasa pada waktu itu sehingga sang pujangga mengungkapkan hal tersebut? Tentu sang pujangga sendiri yang tahu jawabannya.
Akan tetapi jika benar yang dimaksud sebagai Sang Hyang Jagatkāraṇa adalah raja berkuasa pada saat itu, maka ada beberapa kemungkinan yang bisa dijadikan sebagai sebuah hipotesis. Pertama sang raja tidak begitu suka dengan kesusastraan. Kedua sang pujangga tidak dipakai oleh raja. Ketiga ada permasalahan antara sang pujangga dengan raja. Akan tetapi ini baru hipotesis ya? Sangat menarik sebenarnya ketika kita memelajari hal-hal terpendam yang dipendap oleh para Rakawi-Rakawi kita pada zaman dahulu. Namun tidak banyak yang menekuni bidang itu.